ABOUTNGAWI.COM Jakarta, 8 Agustus 2025 – GoodNews From Indonesia (GNFI) bersama GoodStats
merilis hasil survei Indeks Optimisme 2025. Survei ini telah dilakukan beberapa kali,
dengan survei sebelumnya dilaksanakan pada 2023.
Secara umum, hasilnya menunjukkan penurunan indeks optimisme dari 7,77 yang
merupakan kategori “optimis” pada 2023 menjadi 5,51 atau kategori “netral” di 2025.
Kondisi netral merupakan situasi di mana adanya keinginan untuk tetap optimisme
atau merawat harapan dalam menatap masa depan, namun di saat yang sama
dibayangi oleh kekhawatiran dan ketidakyakinan.
Temuan Kunci Survei
1. Penurunan Tingkat Optimisme
Skor indeks optimisme 2025 (5,51) turun dari 2023 (7,77), menandai pergeseran dari
“optimis” ke kategori “netral”. Penurunan ini dipicu oleh gejolak ekonomi (PHK,
inflasi), dinamika politik, dan dampak konflik global. Beberapa temuan kunci yang
memengaruhi penurunan ini, di antaranya sebanyak 67,6% responden menyaksikan
atau mengalami PHK dalam 6 bulan terakhir, 55,8% merasakan kenaikan harga
kebutuhan pokok “sangat signifikan”, dan 33,8% mengaku pendapatan rumah
tangga mereka menurun.
Meskipun demikian, skor 5,51% bukanlah pesimisme total, tetapi mencerminkan
optimisme yang tertahan. Masyarakat ingin percaya masa depan bisa lebih baik,
tetapi realitas sehari-hari—seperti PHK, tekanan kebutuhan sehari-hari, perilaku
politik praktis yang sering membuat prihatin, dan ketidakpastian global—membuat
harapan agak sulit dipertahankan.
2. Politik & Pemerintahan: Dimensi Paling Pesimis
Dimensi ini mencatat skor terendah yaitu 3,87, yang merupakan kategori pemisis.
Sebanyak 67,4% responden pesimis perilaku korupsi akan turun, 60,1% ragu akan
transparansi pemerintahan, dan 53,3% pesimis akan tersedianya ruang suara
masyarakat dalam kebijakan publik.
Temuan ini bukan fenomena baru, sejak survei pertama, politik selalu menjadi titik
lemah optimisme publik. Kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi elite politik
untuk bisa menjadi teladan integritas dan kembali dapat membangun kepercayaan
publik.
3. Generasi Muda Kalah Optimis
Kelompok usia 17-25 tahun paling pesimis (skor 5,45), semakin bertambah usia
semakin lebih optimis. Dengan kelompok 46-55 tahun mencapai skor 6,21. Hal ini
menjadi seperti anomali, di mana umumnya generasi yang lebih tua yang
diasosiasikan realistis dan sudah lelah dalam menghadapi kenyataan ternyata justru
lebih optimis.
Anak muda yang idealnya masih penuh ambisi, idealisme, dan semangat justru
diliputi oleh kegamangan. Generasi muda saat ini menghadapi tekanan ganda, yakni
ketidakstabilan ekonomi, lapangan kerja yang kompetitif, dan ketidakpastian global.
Mereka juga lebih kritis terhadap sistem yang dianggap gagal memenuhi harapan
4. Harapan pada Budaya & Inovasi
Meski banyak tantangan, dua dimensi tetap mencatat skor tinggi: Budaya dan
Kreativitas (6,75) serta Teknologi dan Inovasi (6,69). Keduanya masuk dalam
kategori “optimis”. Sebanyak 70,2% responden optimis budaya Indonesia akan
semakin mampu dikenal di kancah global, dan 66,8% yakin anak muda mampu
memimpin inovasi digital.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa publik melihat kekuatan budaya dan inovasi
sebagai modal untuk bertahan di tengah ketidakpastian. Ini adalah sinyal positif bagi
sektor kreatif dan teknologi Indonesia.
Tak Menutup Mata dari Kenyataan
CEO GNFI, Wahyu Aji, menekankan bahwa menjaga optimisme bukan berarti
menutup mata dari kenyataan. Dan ini tercermin dari apa yang disampaikan oleh
responden. Di mana 67,6% di antara mereka menyaksikan terjadinya PHK di sekitar
mereka dalam enam bulan terakhir, 55,8% merasakan kenaikan harga kebutuhan
pokok, di saat yang sama 33,8% mengaku pendapatannya menurun.
“Survei Indeks Optimisme ini sudah kami lakukan beberapa kali, terakhir di tahun
2023, untuk memetakan pada hal mana responden merasa punya harapan tinggi,
dan di sektor mana optimisme terlihat menipis,” kata Aji.
Adapun yang membedakan survei tahun ini adalah pendekatan kontekstual. Setiap
pertanyaan tidak hanya mengharapkan jawaban cepat apakah responden optimis
atau pesimis, tetapi juga memberi mereka konteks soal kondisi yang sedang
berkembang. Dengan begitu respons yang muncul diharapkan merupakan hasil
perenungan, bukan sekadar jawaban spontan.
“Kami melihat menjaga optimisme bukan berarti menutup mata dari kenyataan.
Justru dari data inilah kita bisa kembali menyusun narasi optimisme yang lebih
membumi,” pungkas Aji.
Laporan ini memperlihatkan bahwa optimisme adalah modal sosial yang fluktuatif,
dan saat ini sayangnya sedang kurang baik. Tetapi bisa dibangun melalui kebijakan
yang responsif, kepemimpinan yang kredibel, dan narasi harapan yang realistis. Di
tengah ketidakpastian, optimisme bukan sekadar sikap psikologis, tapi kapasitas
strategis bangsa.
Pengambilan Data
Survei Indeks Optimisme 2025 dilakukan pada periode 3 Juni – 3 Juli 2025,
melibatkan 1.020 responden yang tersebar secara nasional di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk Sumatra (21,2%), Jawa (61,5%), Kalimantan (5,8%),
Sulawesi-Papua (7,3%), dan Bali-Nusa Tenggara (4,2%).
Responden berasal dari berbagai latar belakang demografis, dengan mayoritas
berjenis kelamin perempuan (58,1%) dan didominasi oleh kelompok usia 17-35
tahun (76,8%).
Pengumpulan data dilakukan melalui dua metode utama, yakni survei online dan
Forum Group Discussion (FGD). Skala pengukuran menggunakan Likert 1-10
dengan interpretasi skor dibagi ke dalam kategori “Sangat Pesimis” (1-2), “Pesimis”
(3-4), “Netral” (5-6), “Optimis” (7-8), dan “Sangat Optimis” (9-10).