ABOUTNGAWI.COM “Gadis Berkabung Senyap,” judul buku keduanya, adalah sebuah karya fiksi yang lahir dari pengalaman pahit manis masa remajanya. Ada bayang-bayang kelam yang menghantui dibalik terbitnya buku keduanya ini. Apriliana adalah korban pelecehan, sebuah pengalaman yang mengubah cara pandangnya terhadap dunia. “Saya pernah menjadi korban pelecehan di gunung, tempat yang seharusnya menjadi pelarian dan kebebasan. Namun, pengalaman itu justru mengajarkan saya tentang kekuatan dan keberanian,” katanya, suaranya bergetar saat mengenang masa-masa sulit itu.
Pelecehan yang mengoyak jiwanya. “Saya merasa seolah-olah dunia ini tidak adil. Ketika saya berusaha untuk mendaki, untuk menemukan kebebasan, saya justru terjebak dalam cengkeraman ketidakadilan,” katanya dengan suara yang penuh amarah. “Pelecehan itu bukan hanya merusak tubuh saya, tetapi juga merusak kepercayaan saya pada dunia.”
Apriliana menghadapi badai mental yang tak kalah dahsyat setelah kejadian itu selayaknya orang yang selamat dari kecelakaan namun cacat seumur hidup, “Setiap kali saya menulis, saya merasa seolah mengeluarkan racun dari dalam diri saya,” ungkapnya, matanya berkaca-kaca. “Kata-kata adalah obat, tetapi juga bisa menjadi racun yang menyakitkan.”
Keterpurukan mentalnya sering kali membuatnya terjebak dalam kegelapan. “Ada saat-saat ketika saya merasa tidak berharga, ketika suara-suara di kepala saya berbisik bahwa saya tidak akan pernah cukup baik.” Dalam kesunyian malam, Apriliana berjuang melawan bayang-bayangnya sendiri, berusaha menemukan cahaya di ujung terowongan yang gelap. Kemarahan yang membara dalam dirinya,menjadi bahan bakar untuk menulis. “Saya menulis untuk melawan. Saya menulis untuk memberi suara pada mereka yang tidak bisa bersuara. Setiap kata adalah perlawanan, setiap kalimat adalah seruan untuk keadilan.” Dalam aksara, Apriliana menemukan kekuatan untuk melawan ketidakadilan yang menggerogoti hidupnya.
Kisahnya tidak hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang teman-temannya yang pernah mengalami hal serupa. Terutama di Ngawi yang masih minim sosialisasi pentingnya edukasi seksual sejak dini dan kesehatan mental. Buku karya Apriliana Soekir ini berlatar belakang dari wisata Ngawi dari Air Terjun Suwono, Air Terjun Pengantin, Gunung Warak yang semua nama disamarkan dalam bukunya, “Saya ingin menulis untuk mereka, untuk semua perempuan yang merasa terjebak dalam kegelapan. Saya ingin suara kami didengar,” tegasnya. Melalui aksara, Apriliana Soekir berusaha membangkitkan semangat dan harapan, mengajak pembaca untuk bangkit dari keterpurukan.
Apriliana kini menulis dengan semangat yang membara. “Setiap kata adalah obat. Aku menuliskan pengalaman-pengalaman itu dalam bentuk puisi, cerpen, dongeng dan prosa. Aku ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan mereka,” katanya, matanya bersinar dengan tekad.
Dia membacakan sepotong puisinya: “Di puncak gunung, aku menemukan diriku/ Di antara awan dan angin, aku berteriak/ Setiap luka adalah pelajaran, setiap jatuh adalah kebangkitan/”
Apriliana kini berjuang untuk menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, terutama perempuan yang mengalami pelecehan. “Aku ingin mengubah stigma dan memberikan harapan. Setiap perempuan berhak untuk merasa aman, baik di gunung maupun di kehidupan sehari-hari,” ujarnya dengan penuh semangat.
Kini, di tengah kesibukannya menempuh pendidikan di luar negeri, Apriliana terus menulis. Ia sering kali menghabiskan waktu di pegunungan, tempat di mana ia merasa paling hidup. “Setiap pendakian adalah perjalanan menuju diri saya yang lebih baik. Meskipun saya pernah sakit, saya selalu bangkit kembali. Gunung mengajarkan saya tentang ketahanan,” tutupnya, meninggalkan kesan mendalam bagi pendengar.
Kisah Apriliana adalah contoh nyata bahwa dari kegelapan, kita bisa menemukan cahaya. Sebuah perjalanan yang penuh inspirasi, sebuah pengingat bahwa di balik setiap kesulitan, ada kekuatan yang bisa ditemukan. Dalam setiap halaman bukunya, ia mengajak kita untuk merenung, berjuang, dan tidak pernah menyerah. Seperti singkong yang tumbuh di tanah yang keras, begitu pula harapan yang tumbuh di hati setiap manusia.